Dia Berubah – Cerpen Karya Siswa: Qurrota Aini

“Duh! kenapa sih, Kakak selalu menggangguku? Padahal seharusnya Dia menjadi teladan bagi adik-adiknya. Pasti menyenangkan kalau kak Fandi mondok. Dia tidak di rumah, aku pun tidak diganggu lagi. Apalagi terkadang aku harus menjaga adikku, Fauzi” Kata Violin yang sering diganggu oleh kakaknya.
Beberapa jam kemudian.
“Fandi! Sini bantu Mama cuci piring, cepet!” teriak Ibu pada kakak dan adik tersebut. “Suruh Violin aja Ma, ini masih main game soalnya” jawab Fandi dengan rasa tak bersalah. Violin yang mendengar ocehan kakaknya pun langsung tidak terima dan bilang “Kok aku sih. Disuruh orang tua, malah nyuruh adiknya. Cepet bantu Mama, kenapa sih kakak suka nyuruh aku padahal kakak bisa ngelakuin, hih.”
Karena lama menunggu, Ibu pun mendatangi anaknya yang sedang bertengkar dan bilang
“Bener kata adikmu Fan, seharusnya kamu kalau disuruh orang itu ditaruh ponselnya. Bisa-bisa Ibu matiin nih wifi. Karena gara-gara ponsel, kamu jadi nggak peduli sama orang sekitarmu. Kamu kalo disuruh jangan malah menyuruh adikmu. Violin juga, nggak boleh terlalu benci sama kakaknya, kalau ada apa-apa bilang ke Mama kan bisa. Ini sebabnya, Mama pingin kalian itu mondok, nggak ada ponsel. Jadi kalian tiap hari cuma ngaji dan belajar, sehingga kalian punya sopan santun, nggak kayak gini.” Violin pun kena imbasnya dan terdiam merenungi perbuatannya juga.
Tak lama lagi Violin naik ke kelas 5 dan kakaknya lulus SD. Sudah tidak bingung lagi akan melanjutkan pendidikan ke mana, Fandi pun hanya bisa menuruti kemauan Ayah dan Ibunya. Meski begitu, Ibunya tetap bertanya kepada Fandi. “Bagaimana? Udah yakin mau mondok di Al-Fatah?” tanya Ibunya dengan tidak memaksa. “Semoga aja Ma. Kalau suruh milih kayak gini, Aku anggap pilihan Ayah sama Mama adalah yang terbaik.” Jawab Fandi dengan pasrah. Mendengar percakapan tersebut, Violin tiba-tiba datang dan memotong pembicaraan “Jadi beneran? Kak Fandi jadi mondok? Wah, nggak ada yang ganggu aku lagi deh. Ye!” teriak Violin dengan bersemangat. “Yakin nggak bakal kangen nih? Awas aja kangen yaa. Hahaha” kata kakaknya. “Sudah-sudah. Entah berapa lama kalian bertengkar, pasti suatu saat kalian akan merasa saling rindu” ucap Ibu mereka. “Terserah ucap Ibu, yang penting kakak mondok, ye!” ucap Violin sambil berjalan ke kamar.
Hari untuk mengantar Fandi ke ponpes pun tiba. Semua orang bersiap-siap untuk mengantar Fandi. Karena barang yang dibawa banyak, Ibunya sampai meminta tolong pada keponakannya untuk mengantarkan mereka untuk ke Ponpes. “Violin! Kamu mau ikut apa nggak?” tanya Ibu sambil berteriak. “Iya Bu, tunggu sebentar masih pakai kerudung!” jawab Violin dengan sedikit tergesa-gesa.
“Untuk biaya pendaftaran sudah lunas apa belum Ma?” tanya Fandi dengan sedikit gelisah.
“Sebenarnya belum lunas, tapi Mama sudah bayar hampir semuanya. Tinggal SPP bulanannya saja, itu pun tinggal setengah. Kamu kenapa kok tanya biaya pendaftaran? Jangan terlalu mencemaskan biaya, urusan biaya biar diurus Ayah aja. Kewajiban kamu adalah belajar.” Jawab Ibunya. “Nggak kok, cuman Fandi tiba-tiba kepikiran aja” jawab Fandi dengan lebih santai. “Ya sudah kalau begitu, ayo cepet masuk ke mobil sana!” perintah Ibunya, karena takut terlambat.
Setelah 1 jam kemudian.
“Wadidaw! bagus juga ya pondok pesantren nya. Kayak terkesan mewah.” ucap Violin terkesima. “Dasar kamu itu, kayak nggak pernah lihat pondok pesantren aja” kata Fandi dengan nada mengejek. “Hih, apaan sih. Suka-suka aku lah. Mau bagaimana aja reaksiku. Kenapa kakak yang keberatan?” jawab Violin dengan nada kesal. “Untung aja, habis ini mondok. Bisa lebih tenang, karena nggak ada kamu, haha.” Kata Fandi dengan lega. “Kakak pikir aku bakal sedih? Ya nggak lah. Aku juga senang, karena kakak nggak akan ada di rumah dan aku pun bisa main ponsel sepuasnya.” Ucap Violin dengan agak sombong. “Yaudah sih, terserah kamu.” Ucap Kakaknya untuk mengakhiri percakapan. “Lagian kalau kamu berlebihan, ya nanti kamu sendiri kena imbasnya” batin Fandi.
Mereka pun pulang meninggalkan ponpes setelah mengantarkan Fandi. Violin melihat semua seperti memikirkan sesuatu. Dia berpikir orang tuanya mungkin gelisah kepada Kakaknya. “Kenapa ya, ma?” tanya Violin seolah-olah tidak tahu. “Entahlah, Ayah merasa agak cemas sama kakakmu.” Jawab Ayahnya. “Itu wajar, apalagi dia anak kita. Kita pasti mengkhawatirkannya jika dia tidak bersama kita. Tapi, tidak apa. Kan masih ada anak kita yang lain, kan?” jawab Ibu sambil menenangkan. “Iya, semoga saja dia dapat beradaptasi dengan kebiasaan-kebiasaan di sana.”
Hari-hari berlalu. Violin berbicara di kamarnya “Dipikir-pikir sepi juga ya, nggak ada Kak Fandi. Memang bisa asik sendiri, nggak ada yang gangguin, makanan milik sendiri, meskipun berbagi sama Fauzi. Tapi, meskipun damai, rasanya seperti ada yang kurang. Apa aku rindu sama kakak? Hih, kayaknya nggak mungkin deh. Hmm tapi aku selalu memikirkan kakak. Berarti kakak benar, bahwa aku bisa saja rindu sama dia. Entahlah, aku malas untuk memikirkan hal tidak bermanfaat ini. Yang pasti, semoga kakak bisa jadi lebih baik.”
Di sisi lain, di malam pertama Kak Fandi tidur di pondok, Dia merasa kurang nyaman untuk tidur. Karena, Dia sudah terbiasa tidur dengan kasur yang lebih luas dan bantal yang lebih empuk. Tetapi, rasa kurang nyaman tersebut berusaha Ia lalui dengan sabar. Keesokan harinya, Kak Fandi melalui hari seperti jadwal yang dijelaskan oleh Wali asrama kemarin malam. Saat masuk kelas, Dia sedikit kaget dengan keadaan kelasnya, karena di kelasnya hanya ada murid laki-laki. Lalu, Kak Fandi duduk di barisan kedua di dekat jendela. Kak Fandi melihat keluar jendela dan mengagumi pemandangan tersebut.
Setelah itu, ada seorang anak yang tiba-tiba menepuk bahu Kak Fandi dan berkata “Hei, Halo!” Seketika Kak Fandi kaget dan menoleh. Dia menjawab dengan wajah biasa saja “Oh, iya. Halo juga.” Lalu anak itu pun mengenalkan dirinya “Perkenalkan namaku Alif. Aku itu berencana ikut ekstrakurikuler voli, kira-kira kamu mau ikut nggak?” Kak Fandi agak bingung dengan pertanyaan random itu. “Hah, Voli? Nggak tau ya, soalnya aku nggak terlalu bisa main Voli sih.” Alif itu pun menjawab dengan santai “Nggak papa kali, kan ekstrakurikuler tujuannya untuk mengasah kemampuan kita. Ikut aja, pasti seru kok!” Kak Fandi pun menjawab “Ya udah, aku ikut. Lagian aku juga bingung mau ikut apa aja.” Alif pun sadar akan sesuatu dan bertanya “Oh iya, namamu siapa sih? Kita sekamar tapi nggak kenal, hehe.” Kak Fandi pun menjawab “Namaku Fandi” Alif pun mengangguk dan melanjutkan kegiatan membacanya.
Setelah 4 hari, Kak Fandi memutuskan untuk mengikuti ekstrakulikuler Voli. Selain itu, Dia juga memutuskan untuk mengikuti Tahfiz juga sesuai permintaan Ibunya. Tak terasa sudah 2 minggu di pondok. Sampai pada malam Jumat yang tak terlupakan bagi Kak Fandi. Pada malam itu ada kegiatan Maulid diba’ di Masjid yang ada di pondok. Maulid diba’ yaitu kegiatan tradisi membaca atau melantunkan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Di sana, Dia benar-benar terkejut dengan suara-suara para kakak seniornya. Entah kenapa, suara mereka terdengar merdu dan membuat hati tenang. Di situlah, Kak Fandi baru sadar, bahwa kalau anak sekolah biasa dengan anak santri itu berbeda. Ditambah lagi, ada ceramah Kyai yang membuat Kak Fandi terasa tertampar dan hal itu mengubah mindset Kak Fandi. Di sana, Kyai menjelaskan tentang banyak hal. Seperti sikap kita sebagai anak kepada orang tua, setiap gerak-gerik kita selalu diawasi dan dicatat oleh malaikat dan lainnya.
Tetapi hanya satu perkataan Kyai yang Kak Fandi selalu ingat. Perkataan itu adalah “Jin tidak mau menjalankan perintah Allah untuk sujud ke Nabi Adam itu saja dikeluarkan dari Surga dan dijadikan penghuni Neraka selamanya, padahal itu nggak mau sujudnya ke ciptaan-Nya bukan Penciptanya. Apalagi kita yang merupakan manusia biasa dan sering melakukan dosa. Oleh karena itu, mulai sekarang jadilah lebih baik dari kemarin sebisa mungkin, buang hal-hal negatif di diri kalian dan simpan semua hal positif di diri kalian semua.” Sejak saat itu Kak Fandi berusaha untuk berubah menjadi seorang santri yang memiliki sikap positif dan menaati perintah Allah dan menjauhi larangannya.
Hari-hari berlalu lagi. Minggu demi minggu. Bulan demi bulan. Bahkan tahun demi tahun.Violin tidak begitu tahu dengan perkembangan kakaknya. Yang dia tahu dan dengar adalah bahwa Ibunya bilang jika Kakaknya yaitu Fandi bertambah tinggi karena ikut ekstrakurikuler voli dan bahkan lebih bertambah tampan dan sopan. Violin hanya bisa membayangkan bagaimana dia di hadapan kakaknya yang tinggi itu. Jika dengan teman-temannya dia sebahunya, apa lagi dengan kakaknya. Dia tidak begitu mengerti tampang kakaknya, karena setiap kakaknya pulang ke rumah, dia selalu sedang pergi. Entah itu kerja kelompok, bermain, atau mengaji. Begitu juga sebaliknya. Sampai di suatu hari mereka tidak ada agenda keluar dan Violin pun tercengang.
“Huah! rasanya aku mengantuk sekali. Hm jam berapa ya ini?” ucap Violin sambil mencari ponsel miliknya. “Oh jam setengah 5, ya udah aku mau sholat aja deh, terus mandi.” Setelah dia mandi, Ibu nya berteriak dari dapur “Violin! Ayo sarapan bersama di sini!” Violin yang mendengar itu langsung turun ke dapur sambil menjawab ibunya itu “Iya ma! Sebentar” setelah dia sampai, sejujurnya dia agak terkejut dengan tampilan kakaknya yang bumi dan langit. Dia agak heran, karena sungguh berbeda dengan kakaknya yang dulu. Tapi entah kenapa, dia begitu pintar mengendalikan dirinya dan berpura-pura sudah biasa melihat kakaknya yang sudah menjadi seorang “santri”.
“Eih, ternyata Mama nggak bohong ya. Kakak emang setinggi dan setampan itu. Eh, aku harus jaga perasaan aku. Kan aku udah punya crush. Haha” batin Violin menenangkan dirinya. “Bagaimana Fan? Lancar nggak sekolahnya? Oh iya, kamu sudah masuk tahfiz juga kan bulan lalu? Sudah berapa juz?” tanya ibunya dengan semangat dan banyak pertanyaan. Tiba-tiba Violin tersedak mendengar tentang tahfiz itu. “Uhuk uhuk” “Kenapa lin, kok tiba-tiba tersedak?” tanya Ibunya dengan heran. “Nggak papa ma, hehe. Cuman ini Violin kecepatan makan, sangking enaknya.” Jawab Violin dengan berbohong karena gengsi. Dia sebenarnya kaget, karena dia tidak menyangka perubahan kakaknya bisa sampai sejauh ini.
Sarapan selesai, Violin yang mencuci piring. Dia masih memikirkan tentang perubahan kakaknya yang drastis dalam 2 tahun itu. “Ternyata cuman dalam waktu dua tahun, kakak bisa berubah menjadi santri yang alim ya? Kukira dia tidak akan seaktif itu di pondok.” Di tengah-tengah kebingungannya, Ibunya datang dan berkata “Nanti jangan lupa bawa baju, alat mandi, kalau bisa pelengkapan sholat juga ya!” suruh ibu dengan mendadak. “Memangnya kita mau kemana Ma?” tanya Violin yang agak heran dengan kedatangan ibunya. “Jadi, nanti malam kita akan ke Pasuruan.” Jawab
Ibunya dengan nada gembira. “Hah? Harus banget nih, malam-malam?” tanya Violin dengan agak keberatan. “Iya dong, kata Mas Ridho lebih baik berangkat malam, karena jalan tolnya pasti lebih sepi. Sehingga sampainya lebih cepat juga. Lagian ini buat kakak juga, kasihan dia udah lama tirakat, sekarang biar dia healing juga.” Kata Ibunya. “Ya udah deh, kalau gitu” jawab Violin dengan pasrah.
Perjalanan di mulai. Violin memutar lagu arab, karena entah kenapa jika dia mendengarkan lagu arab itu sangatlah candu. Bahkan dia membuat playlist untuk lagu arab. Lama-lama dia agak bosan dan bertanya kepada Ibunya “Ma, ini kira-kira sampainya kurang berapa lama?” tanya Violin dengan agak malas. “Ya, palingan nggak sampai 1 jam” jawab Ibunya. “Hah? Lama juga ya. Emangnya kita kesana mau ngapain sih? Tanya Violin dengan heran. “Kalau Mama pinginnya sih sambang ke sepupumu, kak Fafa. Terus kita jalan-jalan ke alun-alun.” Jawab ibunya dengan semangat. “Oh, ya udah kalau gitu, Violin mau tidur, ngantuk soalnya. “Iya, tidur aja” jawab ibunya.
Keesokan harinya, Violin bangun dan ternyata masakan untuk sarapan sudah siap. Dia baru ingat, bahwa ini kan rumah Bude nya. Tak heran jika bisa bangun pagi dan memasak semuanya.
“Nyam nyam nyam. Hmmm enak sekali de, bahkan lebih enak dari masakanku.” Puji Violin kepada budenya. “Haha, terimakasih. Ya iya lah lebih enak. Kan Bude lebih berpengalaman.” Jawab budenya dengan yakin. “Haha, iya. Betul juga sih. Oh iya ma, kapan kita ke Kak Fafa?” tanya Violin. “Sepertinya nanti sore atau nanti malam” jawab Ibunya dengan ragu. “Baiklah, berarti aku punya waktu luang. Yeay!”
Beberapa jam telah berlalu. Violin merasa sepertinya mereka akan keluar saat malam. Dia pun melanjutkan kegiatannya, yaitu bermain ponsel.
“Violin, Fandi. Ayo segera bersiap-siap untuk pergi.” Kata Ibu tiba-tiba. “Hah, ini sudah malam? Cepat sekali ya?” tanya Violin agak heran. “Kamu aja cuman main ponsel, mau nggak cepat gimana? “ tanya balik oleh Ibu. “Haha, iya juga sih” jawab Violin sembari tertawa. “Kamu mau mondok di Pasuruan nggak lin?” tanya ibu dengan random. “Hah, Mama kok random banget sih. Tiba-tiba tanya kayak begitu. Nggak ah, terlalu jauh. Nanti kalo sambangan jadi cuman sebentar deh.” tolak Violin. “Ya nggak papa, padahal Pasuruan itu kota santri lo. Sepertinya pendidikan untuk mondok disini itu banyak dan umum. Bahkan perempuan bercadar pun sangatlah wajar” potong Fandi. “Nggak ah, terimakasih.” Tutup Violin.
“Kita sudah sampai!” ucap Mas Ridho tiba-tiba. “Kalian udah tau belum gang pondok nya Si Fafa.” Tanya Mas Ridho. “Belum” jawab Fandi dan Violin dengan kompak “Ya udah ayo kita semua sama-sama masuk.” ucap mas Ridho sambil berjalan. Setelah sampai, dia bertanya ke satpamnya “Pak, apa boleh saya sambang Fafa kamar 102? Tanya mas Ridho. “Maaf mas, kalau sekarang nggak boleh sambang dulu. Karena ini sudah terlalu malam untuk sambang. Ini sudah jadi peraturan mulai lama “ jawab satpam itu apa adanya. “Oh gitu ya pak, ya udah terimakasih pak!” kata Mas Ridho dengan agak kecewa. “Bagaimana Dho, bisa nggak?” tanya Ibunya violin. “Nggak boleh bude” jawab mas Ridho.”Waduh, ya udah kita langsung ke alun-alun ya. “Oke!” jawab semua dengan kompak. “Oke kita menyebrang, hati-hati ya semua!”ucap mas Ridho. Entah kenapa mas Fandi langsung berada di dekat Violin dan memegang tangannya. “Ayo cepet, ikuti aku” ucap Fandi sambil menyeberangkan adiknya “Weh, sejak kapan mas Fandi sepeduli itu?” batin Violin. Dia benar-benar shock. “Dia benar-benar berubah atau aku yang alay ya?”
Setelah sampai, mereka pun mengelilingi alun-alun kota Pasuruan tersebut. Mereka tampak bersenang-senang. Mereka juga membeli jajanan yang ada disana. Setelah itu, mungkin karena kelelahan, mereka berhenti dan duduk di sebuah taman kecil. Mendengar percakapan kakaknya dengan sepupu, ibunya, dia baru benar-benar percaya. Bahwa kakaknya yang selama ini seperti musuh baginya, ternyata bisa berubah juga. Dan entah kenapa itu membuatnya ingin mondok seperti kakaknya. Dia seperti mendapat pelajaran baru di malam itu. Setelah selesai berbincang, mereka semua pun pulang ke Bude dan keesokan harinya pulang ke kota Malang lagi. Hanya 1 yang Violin inginkan. Dia berharap semoga kakaknya bisa tetap seperti ini atau bahkan bisa lebih baik lagi.

Penulis: Qurrota Aini

Author: Fayi Hanif Muhyiddin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *