Hawa dingin menyapa kulit. Suara kendaraan yang berlalu lalang menggema di pendengaran. Tatapan sayu dan kosong terlihat di pengelihatan. Perlahan, rintik hujan jatuh kebumi. Biasanya, hujan akan selalu menjadi kesukaanku. Namun, hujan kali ini berbeda.
Hujan kali ini datang beriringan dengan duka. Hari ini, kali kedua aku merasa kehilangan. Setelah nenek pergi dua tahun lalu, bunda ikut pergi kembali pada penciptaNya. Aku tak berani pulang. Di semua sudut rumah ada kenangan tentang bunda.
Bunda yang selalu berada di dapur setiap pagi, bunda yang selalu duduk di sofa ruang keluarga tiap siang, bunda yang selalu menyiram bunganya di teras tiap sore, dan bunda yang selalu berbagi cerita di kamarnya tiap malam. Bunda itu sosok hebat. Sosok hebat yang akan selalu dan akan tetap jadi panutanku. Bunda sosok yang sabar, hangat, penyanyang dan perhatian.
Dekapan hangat bunda selalu bisa menenangkanku di semua situasi. Nasihat bunda yang selalu menuntunku untuk mencapai tujuan. Senyum indah bunda yang selalu siap sedia tiap aku bercerita, kini sudah tak ada lagi. Raga bunda yang selalu bisa aku dekap dengan erat, sudah tak bisa kulihat. Sekarang dengan siapa aku akan bercerita? Siapa yang akan memelukku kala tangisku pecah. Siapa yang akan menenangkanku kala rasa takut melanda. Siapa yang akan selalu ada untukku dan menggenggam erat tanganku di semua masalah. Sekarang senyum siapa yang akan bisa menentramkan hatiku kala gelisah tiba.
Masih teringat jelas percakapan terakhirku dengan bunda sebelum ia meninggal. Malam itu, hujan turun mengguyur kota. Aku duduk di sofa sambil menonton televisi dengan bunda.
“Kamu kalau mau ambil sastra, ambil aja, bunda dukung kamu. Gausah peduliin kata ayah kamu atau kata orang. Kalau emang itu yang menurut kamu terbaik, silakan. Menurut bunda, keberadaan sastra adalah pemersatu perbedaan budaya. Rangkaiannya bisa membuat orang terbawa perasaan dan suasana ketika sudah dituangkan dalam bentuk karya seperti puisi, qoutes, lirik lagu, dan lainnya. Bahkan motto hidup pun mengandung sastra. Belajar sastra itu bukan hanya untuk menjadi instant multilingual person seperti tujuan orang orang waktu kursus, melainkan juga untuk menyebarkan pengaruh baik dalam keindahannya,” ujar bunda sambil mendekapku erat.
Bunda hebat. Kata katanya selalu berhasil menenangkan hati. Bunda itu gak pernah menuntut apapun, beda dengan ayah yang selalu menuntut aku agar jadi seperti dirinya. Ayah itu dokter, jadi dia menyuruhku meneruskan pekerjaannya di dunia medis karena aku anak satu-satunya. Tapi aku juga punya keinginan sendiri. Aku gak mau ikut ayah di dunia medis. Sama sekali gak tertarik. Dari kecil, aku selalu ingin jadi seperti bunda. Jadi penulis terkenal yang bisa menciptakan kata-kata mutiara yang menghipnotis pembacanya.
Masih teringat juga di benakku saat pertengkaran ayah dan bunda seminggu sebelum bunda meninggal. Sore itu, aku pulang dari kampus saat hari pertamaku jadi mahasiswa baru. Dari luar rumah, terdengar suara perdebatan. Aku berdiri di ambang pintu dan mendengar ayah yang berteriak di depan bunda. Aku juga melihat bunda yang menangis disitu.
“Kita udah rawat dia dari kecil sampai sebesar ini, dia berhutang budi ke kita. Dia anak gatau diuntung, aku udah rela membesarkan dia dan menyayangi dia seperti anak kandung aku sendiri, harusnya dia bisa melanjutkan pekerjaan aku, bukan malah gini. Kalau dia ambil sastra, besarnya jadi apa? Kalau dia nurut aku, masa depannya pasti terjamin”, bentak Ayah pada Bunda.
“Kita udah pernah bahas ini ya sebelumnya, kamu juga kenapa tiba tiba berubah gini? Kamu kan yang dulu bilang gak mau memaksa dia, kamu yang dulu bilang mau membiarkan dia mencapai keinginannya sendiri. Kamu gak bisa memandang sesuatu dengan cara seperti ini. Kesuksesan gak bisa menjamin kebahagiaan. Aku gak mau dia tertekan hanya karna menuruti tuntutan keluarga kamu itu. Aku sayang dia sepenuh hatiku walau dia bukan anak kandung kita,” bantah bunda.
Jantungku seakan berhenti berdetak mendengar hal itu. Mengetahui bahwa aku bukan anak kandung ayah dan bunda membuat aku merasa sedang berada di mimpi buruk. Aku ingin segera bangun dari mimpi ini. Namun perlahan, aku sadar ini bukan mimpi. Air mata perlahan mengalir dari mataku, hati berdenyut nyeri mendengar perkataan ayah. Perdebatan belum selesai, dan aku sama sekali tidak beranjak dari ambang pintu. Puncaknya, ayah menampar bunda dengan keras. Suasana jadi hening.
“Ayah!”
Ayah dan bunda menoleh ke arahku setelah mendengar lirihanku. Bunda menatap aku kaget, begitupun ayah. Bunda menghampiriku dan memelukku dengan erat. Tangisku pecah di dalam dekapan bunda. Bunda mengelus surai hitamku dan berkata “Jangan dengarkan dia, kamu anak bunda. Kamu anak bunda yang paling hebat. Jangan peduliin kata kata ayah kamu, dia bohong.”
“Bun, aku mau bunda jujur, ceritain semuanya ke aku!” kupaksa bunda untuk menjelaskan.
“Mungkin kamu memang bukan anak kandung bunda, tapi kasih sayang bunda ke kamu melebihi apapun. Kamu anak bunda yang cantik, anak bunda yang pinter, anak bunda yang baik. Bunda sayang ke kamu” kata bunda sambil mengusap air mataku.
Aku melihat ke arah ayah. Mata kami bertemu dan ayah langsung memalingkan wajah lalu melenggang pergi.
Besoknya, bunda masuk rumah sakit. Seminggu lamanya beliau dirawat. Hari ini, aku datang kerumah sakit setelah dari kampus. Aku datang dengan bunga mawar biru kesukaan bunda. Bunda kemarin berpesan agar aku datang sambil membawakan beliau bunga kesukaannya. Begitu sampai diruangan bunda, aku melihat ayah tertunduk disofa. Ada sepupuku yang menangis di kursi samping tempat tidur bunda. Ayah melihat ke arahku. Dahiku berkerut melihat mata ayah yang merah.
“Ayah kenapa? Bunda tidur dari tadi?” Tanyaku.
Ayah mengangguk lalu berkata,
“Bunda tidur. Bunda kamu udah gak sakit”
Entah mengapa, jantungku berdegup kencang mendengar perkataan ayah. Ayah menarik nafas lalu berkata sambil tersenyum,
“Bunda kamu milih nyerah. Dia udah nggak ada. Bunda kamu pergi nak.” Ucap ayah sambil terisak.
Bunga yang ku genggam jatuh ke lantai. Mataku mulai mengeluarkan air mata dan aku langsung berlari ke arah bunda. Kupeluk erat tubuh bunda sambil menangis kencang.
“Bun, ayo bangun! Bunda cuma tidur kan? Ayo bangun dan bilang ke aku kalau mereka semua bohong, ayo bun! Lihat, aku bawain bunga kesukaan bunda. Ayo bangun, katanya mau temani aku bikin kue, ayo bangun bunda!”
Kulepaskan pelukanku ke bunda lalu berdiri menatap ayah.
“Jangan bohong, bundaku masih ada. Bunda cuma tidur yah, bunda udah janji mau temani aku buat kue, bunda ga mungkin ingkar. Ayah apa-apaan sih? Bercandanya gak lucu yah! Ayo bangunin bunda yah, ayo!” teriakku.
Tak lama setelah itu pandanganku menggelap, tubuhku ambruk ke lantai.
Keesokan harinya, setelah pemakaman bunda, aku pulang ke rumah. Aku hanya berdiri diambang pintu, tak berani masuk. Mataku menatap ayah yang duduk di kursi sambil memijat pelipisnya. Ayah melihat ke arahku lalu tersenyum hangat dan berjalan ke arahku.
“Ayo masuk, jangan takut, ini juga rumah kamu. Maafin ayah ya nak, maafin perkataan ayah tempo hari lalu. Ayah ga bermaksud berkata seperti itu, ayah lagi stres, lagi frustasi. Ayah gagal menyelamatkan nyawa orang saat operasi waktu itu, keluarga ayah juga terus terusan menuntut agar kamu masuk ke dunia medis. Tanpa sadar, ayah malah meluapkan emosi ayah ke bunda dan kamu”
Aku diam, air mata menetes lagi dari mataku. Ayah meraih tubuhku dan mendekapnya erat.
“Sekarang hanya tinggal kita, kita harus ikhlas, kita harus melanjutkan hidup. Kita gak boleh hidup dengan bayang-bayang penyeselan. Sekarang, ayah dukung kamu sepenuhnya. Ayah dukung semua impian dan langkah kamu. Izinkan ayah yang akan mendampingi langkah kamu berikutnya, menggantikan bunda ya. Kamu anak ayah, tidak peduli dengan kenyataan bahwa kamu anak adopsi. Kamu hebat, kamu kuat, kamu baik. Kamu persis seperti bunda kamu. Sekarang maafkan ayah yaa nak?”
Aku mengangguk perlahan. Ayah tersenyum lalu kembali berkata,
“Setelah ini, janji sama ayah bahwa gak akan ada lagi air mata. Gak akan ada lagi kata meninggalkan dan ditinggalkan. Janji sama ayah kalau kita akan melangkah bersama yaa”.
Hatiku menghangat. Setelah semua badai yang menerpa, kini pelangi indah datang. Semua yang telah terjadi mengajarkan aku bahwa sukses bukan kunci kebahagiaan. Tapi kebahagiaanlah kunci kesuksesan.
Penulis: Tasya Kirania Wijaya Kelas 7.7